Selasa, 19 Mei 2015

Konglomerasi Media di Indonesia

Nama : Suci Febriany Safitri
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah
Tangerang


Konglomerasi media merupakan kekuatan dari perusahaan yang berskala besar dalam memiliki banyak dan jenis media massa sebagai bagian bisnisnya. Tentu saja konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim demokrasi mengingat kekuatan media (power full) yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang menkonsumsi informasi dari media media tersebut. Bentuk konglomerasi ini tentunya sudah terjadi di Indonesia, sebut saja PT Media Nusantara Citra,Tbk yang memiliki RCTI, MNC TV, Global TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia, Okezone.com dan Indovision. MNC Group ini dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo yang memiliki latar belakang tidak saja sebagai seorang pengusaha tetapi juga tokoh politik. Kemudian Visi Media Asia (Viva Group) yang dimiliki oleh putra Abu Rizal Bakrie yakni Anindya Bakrie yang menaungi Vivanews.com, TV One dan ANTV. Surya Paloh juga memiliki Metro TV dan Media Indonesia yang bernaung dibawah Group Media Indonesia. Pemilik dua perusahaan besar ini adalah pelaku binis dan sekaligus sebagai tokoh politik di Indonesia.

Sementara CT Corp yang sebelumnya bernama Para Group milik Chairul Tanjung, tidak saja menaungi beberapa perusahaan dibidang Perbankan, Pasar Modal, Pembiayaan, Asuransi, Perhotelan, Property dan Retail ini juga memiliki unit usaha media massa. Sebut saja Detik.com, Trans TV dan Trans 7 yang sebelumnya bernama TV 7 milik Kompas Gramedia Group. Pelaku bisnis media lokal pun seakan tidak ingin ketinggalan, seperti Riau Pos Group yang dimiliki oleh Rida K Liamsi ini memiliki unit bisnis media seperti Koran Harian Pagi Riau Pos, Pekanbaru Pos, Pekanbaru MX, Dumai Pos, Xpresi Magazine, Riau TV dan Fresh Radio. Dalam mengembangkan bisnis medianya, Riau Pos Group telah memperluas jaringannya kebeberapa provinsi di Sumatera. Seperti Batam Pos, Tanjung Pinang Pos, Posmetro Batam, Batam TV, Padang Ekspres, Posmetro Padang, Padang TV, Triarga TV, Sumut Pos dan Posmetro Padang.

Singkat kata, nama-nama pemilik media diatas merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnis mereka dengan berupaya dekat dengan kekuasaan. Malah beberapa diantara mereka adalah tokoh politik yang tentunya memiliki kepentingan dan tujuan. Akibatnya media yang mereka miliki tentunya lebih mengutamakan informasi dan tayangan menarik ketimbang informasi dan tayangan yang penting bagi masyarakat. Ataupun karena adanya intervensi dari pemilik media tersebut, konten informasi yang disampaikan oleh media pun akan menjadi bias. Baik itu kepentingan ekonomi, politik dan ideologi sang pemilik, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mencari informasi dan tayangan yang netral dan realitas yang sesungguhnya. Dengan kondisi ini maka terlihat jelas Konglomerasi media memiliki peran penting dalam menyaring informasi dan tayangan apa saja yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada masyarakat.

Media massa mampu memilih dan menetapkan isu yang akan mereka sampaikan kepada masyarakat. Dengan adanya penekanan pada isu-isu tertentu oleh media massa akan mampu menggiring atau justru merubah opini masyarakat terhadap realitas yang terjadi. Media mampu menggiring opini masyarakat terhadap suatu isu, dan kemampuan media dalam mempengaruhi perubahan kognitif individu ini menjadi salah satu aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa. Dengan adanya kepemilikan media oleh segelintir orang ini, tentunya akan menimbulkan dampak negatif, pada kelangsungan system media di Indonesia. Konglomerasi media ini juga tentunya sangat bertentangan dengan fungsi dan etika media yang seharusnya.

Mungkin kita termasuk orang yang dilanda kebingungan ketika menonton hasil hitung cepat pada Pemilu Presiden yang lalu. Ada stasiun TV yang memenangkan Jokowi-Kalla, tapi ada sebagian stasiun TV lain yang memenangkan Prabowo-Hatta. Media pada akhirnya malah menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik tertentu dan mengabaikan perannya untuk melayani kepentingan publik.

Menurut saya semua itu terjadi karena para pemilik media ikut bermain dalam kompetisi politik. Harry Tanoesoedibjo yang memiliki RCTI, Global TV, dan MNC TV bergabung dengan Partai Hanura setelah sebelumnya satu perahu dengan Partai NasDem. Surya Paloh pemilik Metro TV adalah Ketua Umum Partai NasDem. Aburizal Bakrie pemilik TV One dan ANTV adalah Ketua Umum Partai Golkar. Alhasil, informasi yang dihasilkan media-media tersebut cenderung bias, berpihak, menyembunyikan kebenaran, dan bahkan mengabarkan informasi bohong.

Situasi ini jelas mengganggu peran media massa sebagai pilar keempat demokrasi yang harusnya menyediakan informasi bagi warga negara. Sebab, informasi adalah oksigen demokrasi, begitu tulis sosiolog Prancis Alexis de Tocqueville. Era demokrasi sejak 1998 tentu membawa angin segar bagi dunia informasi di Indonesia. Ya, semakin banyaknya media massa membuat kita punya peluang untuk mendapatkan informasi yang benar. Sebab, informasi merupakan hak bagi setiap warga negara.

Namun, kita layak khawatir ketika tahu bahwa kejatuhan Orde Baru ternyata hanya menguntungkan beberapa konglomerat media yang cenderung meminggirkan aspek kepentingan publik dan mendahulukan kepentingan komersial dan politiknya. Inilah yang disebut konglomerasi media, di mana hanya beberapa orang saja yang memiliki media dan mereka mengendalikan agenda dan pembicaraan publik se-Indonesia.

Di luar konteks politik, seperti apa sebenarnya konglomerasi media ini berdampak pada konten televisi?

Masih ingat kasus hilangnya pesawat Adam Air pada 2007? Pada awalnya, kasus ini diberitakan secara intensif oleh banyak media termasuk RCTI. Kemudian, Hary Tanoe membeli sebagian sahamnya, dan ini berdampak pada menurunnya bahkan menghilangnya pemberitaan terkait Adam Air tersebut (Baca: Kesaksian Dandhy Dwi Laksono pada Sidang Uji Materi UU Penyiaran No. 32).

Atau masih ingatkah pada pemberitaan TV One yang lebih suka menggunakan kata “Lumpur Sidoarjo” ketimbang menggunakan kata “Lumpur Lapindo”? Ya, sebab Bakrie sebagai pemilik TV One juga memiliki saham di PT Lapindo Brantas.

Pada media-media lain, kasus mengaburkan informasi seperti ini bukan tidak mungkin akan selalu ada. Media yang banyak bicara soal demokrasi akhirnya malah menjadi ancaman bagi demokrasi sendiri ketika dikuasai oleh segelintir konglomerat yang tidak pernah kita ketahui apa agenda ekonomi-politiknya ke depan.

Konglomerasi juga menimbulkan homogenisasi informasi atau keseragaman konten media. Akibatnya, tidak ada pilihan lain bagi khalayak untuk membandingkan informasi-informasi yang beredar. Pada akhirnya, khalayak lebih diberlakukan sebagai konsumen dan bukan warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi. Saya berharap semoga kita semua menjadi warga negara yang pintar untuk memilah milih informasi bukan hanya menonton dan menerimanya saja tanpa memikir ulang dan lebih mencari tahu apakah informasi tersebut berupa fakta atau hanya sekedar gurauan semata.