Nama : Suci Febriany Safitri
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah
Tangerang
Konglomerasi media merupakan kekuatan dari
perusahaan yang berskala besar dalam memiliki banyak dan jenis media massa
sebagai bagian bisnisnya. Tentu saja konglomerasi media ini sangat tidak sehat
dalam iklim demokrasi mengingat kekuatan media (power full) yang sangat berpengaruh
terhadap masyarakat yang menkonsumsi informasi dari media media tersebut.
Bentuk konglomerasi ini tentunya sudah terjadi di Indonesia, sebut saja PT
Media Nusantara Citra,Tbk yang memiliki RCTI, MNC TV, Global TV, Radio Trijaya,
Koran Seputar Indonesia, Okezone.com dan Indovision. MNC Group ini dimiliki
oleh Hary Tanoesoedibyo yang memiliki latar belakang tidak saja sebagai seorang
pengusaha tetapi juga tokoh politik. Kemudian Visi Media Asia (Viva Group) yang
dimiliki oleh putra Abu Rizal Bakrie yakni Anindya Bakrie yang menaungi
Vivanews.com, TV One dan ANTV. Surya Paloh juga memiliki Metro TV dan Media
Indonesia yang bernaung dibawah Group Media Indonesia. Pemilik dua perusahaan
besar ini adalah pelaku binis dan sekaligus sebagai tokoh politik di Indonesia.
Sementara CT Corp yang sebelumnya bernama
Para Group milik Chairul Tanjung, tidak saja menaungi beberapa perusahaan
dibidang Perbankan, Pasar Modal, Pembiayaan, Asuransi, Perhotelan, Property dan
Retail ini juga memiliki unit usaha media massa. Sebut saja Detik.com, Trans TV
dan Trans 7 yang sebelumnya bernama TV 7 milik Kompas Gramedia Group. Pelaku
bisnis media lokal pun seakan tidak ingin ketinggalan, seperti Riau Pos Group
yang dimiliki oleh Rida K Liamsi ini memiliki unit bisnis media seperti Koran
Harian Pagi Riau Pos, Pekanbaru Pos, Pekanbaru MX, Dumai Pos, Xpresi Magazine,
Riau TV dan Fresh Radio. Dalam mengembangkan bisnis medianya, Riau Pos Group
telah memperluas jaringannya kebeberapa provinsi di Sumatera. Seperti Batam
Pos, Tanjung Pinang Pos, Posmetro Batam, Batam TV, Padang Ekspres, Posmetro
Padang, Padang TV, Triarga TV, Sumut Pos dan Posmetro Padang.
Singkat kata, nama-nama pemilik media diatas
merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnis mereka dengan berupaya
dekat dengan kekuasaan. Malah beberapa diantara mereka adalah tokoh politik
yang tentunya memiliki kepentingan dan tujuan. Akibatnya media yang mereka
miliki tentunya lebih mengutamakan informasi dan tayangan menarik ketimbang
informasi dan tayangan yang penting bagi masyarakat. Ataupun karena adanya
intervensi dari pemilik media tersebut, konten informasi yang disampaikan oleh
media pun akan menjadi bias. Baik itu kepentingan ekonomi, politik dan ideologi
sang pemilik, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mencari informasi dan
tayangan yang netral dan realitas yang sesungguhnya. Dengan kondisi ini maka
terlihat jelas Konglomerasi media memiliki peran penting dalam menyaring
informasi dan tayangan apa saja yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada
masyarakat.
Media massa mampu memilih dan menetapkan isu
yang akan mereka sampaikan kepada masyarakat. Dengan adanya penekanan pada
isu-isu tertentu oleh media massa akan mampu menggiring atau justru merubah
opini masyarakat terhadap realitas yang terjadi. Media mampu menggiring opini
masyarakat terhadap suatu isu, dan kemampuan media dalam mempengaruhi perubahan
kognitif individu ini menjadi salah satu aspek terpenting dari kekuatan
komunikasi massa. Dengan adanya kepemilikan media oleh segelintir orang ini,
tentunya akan menimbulkan dampak negatif, pada kelangsungan system media di
Indonesia. Konglomerasi media ini juga tentunya sangat bertentangan dengan
fungsi dan etika media yang seharusnya.
Mungkin kita termasuk orang yang dilanda
kebingungan ketika menonton hasil hitung cepat pada Pemilu Presiden yang lalu.
Ada stasiun TV yang memenangkan Jokowi-Kalla, tapi ada sebagian stasiun TV lain
yang memenangkan Prabowo-Hatta. Media pada akhirnya malah menjadi kepanjangan
tangan kepentingan politik tertentu dan mengabaikan perannya untuk melayani
kepentingan publik.
Menurut saya semua itu terjadi karena para
pemilik media ikut bermain dalam kompetisi politik. Harry Tanoesoedibjo yang
memiliki RCTI, Global TV, dan MNC TV bergabung dengan Partai Hanura setelah
sebelumnya satu perahu dengan Partai NasDem. Surya Paloh pemilik Metro TV
adalah Ketua Umum Partai NasDem. Aburizal Bakrie pemilik TV One dan ANTV adalah
Ketua Umum Partai Golkar. Alhasil, informasi yang dihasilkan media-media
tersebut cenderung bias, berpihak, menyembunyikan kebenaran, dan bahkan
mengabarkan informasi bohong.
Situasi ini jelas mengganggu peran media
massa sebagai pilar keempat demokrasi yang harusnya menyediakan informasi bagi
warga negara. Sebab, informasi adalah oksigen demokrasi, begitu tulis sosiolog Prancis
Alexis de Tocqueville. Era demokrasi sejak 1998 tentu membawa angin segar bagi
dunia informasi di Indonesia. Ya, semakin banyaknya media massa membuat kita
punya peluang untuk mendapatkan informasi yang benar. Sebab, informasi
merupakan hak bagi setiap warga negara.
Namun, kita layak khawatir ketika tahu bahwa
kejatuhan Orde Baru ternyata hanya menguntungkan beberapa konglomerat media
yang cenderung meminggirkan aspek kepentingan publik dan mendahulukan
kepentingan komersial dan politiknya. Inilah yang disebut konglomerasi media,
di mana hanya beberapa orang saja yang memiliki media dan mereka mengendalikan
agenda dan pembicaraan publik se-Indonesia.
Di luar konteks politik, seperti apa
sebenarnya konglomerasi media ini berdampak pada konten televisi?
Masih ingat kasus hilangnya pesawat Adam Air
pada 2007? Pada awalnya, kasus ini diberitakan secara intensif oleh banyak
media termasuk RCTI. Kemudian, Hary Tanoe membeli sebagian sahamnya, dan ini
berdampak pada menurunnya bahkan menghilangnya pemberitaan terkait Adam Air
tersebut (Baca: Kesaksian Dandhy Dwi Laksono pada Sidang Uji Materi UU
Penyiaran No. 32).
Atau masih ingatkah pada pemberitaan TV One
yang lebih suka menggunakan kata “Lumpur Sidoarjo” ketimbang menggunakan kata
“Lumpur Lapindo”? Ya, sebab Bakrie sebagai pemilik TV One juga memiliki saham
di PT Lapindo Brantas.
Pada media-media lain, kasus mengaburkan
informasi seperti ini bukan tidak mungkin akan selalu ada. Media yang banyak
bicara soal demokrasi akhirnya malah menjadi ancaman bagi demokrasi sendiri
ketika dikuasai oleh segelintir konglomerat yang tidak pernah kita ketahui apa
agenda ekonomi-politiknya ke depan.
Konglomerasi juga menimbulkan homogenisasi
informasi atau keseragaman konten media. Akibatnya, tidak ada pilihan lain bagi
khalayak untuk membandingkan informasi-informasi yang beredar. Pada akhirnya,
khalayak lebih diberlakukan sebagai konsumen dan bukan warga negara yang
memiliki hak untuk mendapatkan informasi. Saya berharap semoga kita semua
menjadi warga negara yang pintar untuk memilah milih informasi bukan hanya
menonton dan menerimanya saja tanpa memikir ulang dan lebih mencari tahu apakah
informasi tersebut berupa fakta atau hanya sekedar gurauan semata.